wahyusuwarsi.com

NOVEL “LAUT BERCERITA” YANG TERINSPIRASI DARI PERISTIWA 1998

 

Novel LautBercerita



Novel karya Leila S. Chudori ini diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada tahun 2017 dan tahun 2024 adalah cetakan ke-74. Novel dengan tebal 379 halaman ini terinspirasi kisah nyata aktivis yang hilang pada “peristiwa 1998”. Novel ini ditulis berdasarkan wawancara dan kisah yang diceritakan oleh berbagai narasumber.

Bisa dikatakan bahwa novel ini adalah kisah nyata dari aktivis-aktivis yang menjadi saksi hidup peristiwa 1998. Sebagian dari mereka bisa selamat dan kembali ke keluarga masing-masing, namun masih ada 13 orang yang sampai saat ini belum ditemukan atau dipaksa hilang.

Leila S. Chudori adalah penulis yang sudah malang melintang di dunia literasi. Beliau mulai menulis di berbagai media sejak berusia 12 tahun. Karya-karyanya banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Saat ini beliau menetap di Jakarta, bersama putrinya yang juga seorang penulis, Rain Chudori-Soerjoatmodjo.

Bagaimana kisah Laut Bercerita? Baca ulasannya di bawah ini.

 

BLURB

Jakarta, Maret 1998

Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya yaitu Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dan dibawa ke sebuah tempat tak dikenal. Mereka disekap berbulan-bulan, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan diestrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapa yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998

Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang Ibu, satu piring untuk Biru Laut dan satu piring untuk Asmara Jati si bungsu. Mereka duduk dan menanti, namun Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000

Asmara Jati, adik Biru Laut beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta mempelajari testimoni mereka yang telah kembali. Para orang tua dan istri aktivis yang hilang mencari kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara, Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

SINOPSIS

Novel ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Prolog dan Epilog. Prolog Biru Laut yang terdiri dari 10 bab, dengan alur maju mundur (tahun 1991-1998). Dan Prolog Asmara Jati yang terdiri dari 4 bab (tahun 2000-2007). Sedangkan Epilog terdiri dari satu bab.

I. BIRU LAUT

SEYEGAN, 1991

Sekelompok mahasiswa yaitu Biru Laut dan kawan-kawannya yang merupakan anggota organisasi Winatra sering mengadakan diskusi di Markas Seyegan. Diskusi tentang buku-buku sastra karya Pramudya Ananta Toer, atau diskusi yang lain. Kelompok organisasi ini beranggotakan mahasiswa aktivis yang dianggap menentang Orde Baru.

DI SEBUAH TEMPAT DI DALAM GELAP, 1998

Biru Laut bersama teman-temannya yaitu Sunu, Alex Perazon dan Daniel disergap oleh 4 orang tak dikenal di sebuah rumah susun. Kemudian mereka dibawa dan disekap ke suatu tempat di bawah tanah. Mereka tak mengenal tempat itu karena selain diborgol, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Disana mereka disekap selama berbulan-bulan dan diinterogasi, disiksa, dipukul, ditendang, disetrum untuk menjawab satu pertanyaan yaitu siapa yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

CIPUTAT, 1991

Arya Wibisono adalah ayah dari Biru Laut, beliau adalah seorang wartawan sebuah surat kabar. Keluarga Arya Wibisono pindah dari Yogyakarta ke Jakarta. Setiap bulan pada minggu ke-4 mereka sekeluarga berkumpul untuk memasak bersama, masakan kesukaan Biru Laut yaitu tengkleng, gudeg dan sebagainya. Setelah masak bersama kemudian dilanjutkan acara makan bersama. Namun sudah 3 bulan ini Laut tidak bisa pulang karena kesibukannya sebagai aktivis di Yogyakarta (kegiatan di Winatra). Laut adalah Sekjen Winatra.

Saat itu banyak mahasiswa Yogyakarta dan Solo berkumpul diam-diam untuk membuat kelompok perlawanan. Sebagian kegiatan mereka adalah berdiskusi karya-karya sastra yang dilarang yaitu karya Pramudya Ananta Toer. Laut merahasiakan kegiatannya pada bapak ibunya dan mengaku masih kost di daerah Pelem Kecut.

DI SEBUAH TEMPAT, DI DALAM KEJI, 1998

Laut dan kawan-kawannya disekap di suatu tempat yang tidak diketahui, karena mata mereka selalu ditutup dan tangan diborgol. Di tempat tersebut mereka selalu diinterogasi sambil disiksa, dipukul, disetrum, bahkan mata disengat semut merah (semut rang-rang), hingga bibir berdarah dan mata bengkak. Pecut listrik menghajar kaki dan punggung hingga menusuk saraf. Penyiksaan-penyiksaan itu dilakukan agar mereka mengaku dimana keberadaan Kinanti.

BLANGGUAN, 1993

Di Blangguan Jawa Timur, para mahasiswa aktivis membela hak petani yang lahannya hendak dijadikan lapangan tembak bagi militer. Para petani mempertahankan lahannya dan mahasiswa aktivis membantu dengan aksi tanam jagung. Namun aksi tersebut gagal karena mereka tercium intel.

DI SEBUAH TEMPAT, DI DALAM LAKNAT, 1998

Bab ini menceritakan dan menggambarkan suasana di penjara bawah tanah tempat para aktivis disekap. Laut, Julius, Daniel, Sunu dan Dana menduga mereka ada di sebuah markas tentara. Suatu penjara tanpa dinding dan bagian atas seperti kerangkeng wadah hewan. Di sini terdapat 6 ruangan (penjara). Tiap orang menempati satu ruangan, dan di ujung ruangan terdapat kamar mandi. Satu persatu secara bergantian mereka dibawa ke ruangan atas untuk diinterogasi dan disiksa agar mengaku siapa yang mendanai mereka dan siapa dalangnya.

TERMINAL BUNGURASIH, 1993

Aksi Blangguan gagal, mereka kembali ke daerah masing-masing dengan menumpang bus. Di tengah jalan sempat ada gangguan, bus dicegat polisi dan sopir bus dimintai keterangan. Tetapi polisi tidak curiga karena sopir bus beralasan sedang membawa mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di desa. Akhirnya bus melaju kembali menuju kantor DPRD Jawa Timur.

Sesampai disana hanya satu wakil rakyat yang menemui mereka dan wakil rakyat tersebut hanya mencatat dan menampung laporan mereka. Menurut Daniel, DPRD selama ini adalah septic tank, yang hanya menampung aspirasi rakyat, mencatat dan menampung saja. Dan hanya mengenal satu pilar kokoh yang berkuasa yaitu presiden.

Di terminal Bungurasih mereka ditangkap orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak. Laut, Alex dan Bram tertangkap. Sementara Kinan dan Daniel berhasil lari.

Laut dan kawan-kawan diperiksa di sebuah ruangan kecil dan gelap berukuran 3 x4 meter. Mereka diinterogasi oleh seorang bernama Kolonel Martono, mengapa menolak program pemerintah, siapa yang mendanai mereka dan siapa yang memimpin aksi Blangguan?

Keesokan paginya mereka dilepas di terminal Bungurasih dan diperintahkan pulang ke Yogyakarta. Tetapi kemudian mereka dijemput Mahesa dan Raka, keduanya adalah kakak Anjani. Kemudin mereka dibawa ke dokter untuk diobati luka-lukanya, setelah itu dibawa ke rumah peristirahatan Pacet, dimana teman-teman mereka yang lain telah berkumpul di sana termasuk Anjani kekasih Laut.

DI SEBUAH TEMPAT DI DALAM KHIANAT, 1998

Dalam bab ini diceritakan seorang teman mereka yang berkhianat yaitu Gusti. Ketika naik tangga melalui sebuah lorong, tiba-tiba ada seseorang yang memotret Laut dengan blitz. Tap! Dan keika ikatan kain hitam penutup mata dibuka, tampak seseorang yang dikenalnya sedang memotret dengan blitz.

Saat Laut diinterogasi dan disiksa tidur di atas balok es, Gusti memotretnya dengan blitz. Kilatan blitz itu yang menyadarkan Laut bahwa ada pengkhianat di antara mereka. Sibuk memotret selama Laut disiksa.

RUMAH SUSUN KLENDER JAKARTA, 1996

Berpindah-pindah tempat selama setahun dari Lampung, Pekanbaru, Padang kemudian kembali ke Bogor. Mencari kontrakan di pelosok yang jauh dari intaian para intel dan polisi. Dari Bogor berpindah-pindah ke Cilegon, Bekasi, Bandung kemudian kembali ke Jakarta Barat. Mereka 2 tahun buron dengan “perintah tembak di tempat” bila tertangkap.

DI SEBUAH TEMPAT DI DALAM KELAM, 1998

Mereka diikat dan ditutup matanya kemudian dibawa dan dibuang ke laut.

Halaman 229, Aku mendengar debur ombak yang pecah, mencium aroma asin laut di antara angin yang mengacak rambut. Lalu di dalam kegelapan itu, aku membayangkan ribuan ikn kecil berwarna kuning dan biru berkerumun menantikan kedatanganku; puluhan ikan pari meloncat ke atas permukaan laut menyambutku seperti seorang saudara yang telah lama pergi.

II. ASMARA JATI

CIPUTAT JAKARTA, 2000

Bapak (Arya Wibisono) masih melakukan kebiasaan masak dan makan bersama di hari Minggu. Bapak selalu menyediakan 4 piring untuk dirinya sendiri, ibu, Laut dan Asmara. Bapak, ibu dan Anjani selalu hidup dalam penyangkalan, menunggu bila sewaktu-waktu Laut akan pulang.

Aswin Pradana dari LBH mendirikan Komisi Orang Hilang bersama beberapa orang. Aswin menjelaskan pada keluarga bapak bahwa Alex, Laut dan Daniel diambil secara paksa, seperti Sunu, Narendra, Dana, Julius dan Gala yang menghilang satu persatu, kemungkinan mereka diculik.

Singkat cerita, akhirnya Alex dan Daniel dilepaskan. Alex dibelikan tiket pesawat untuk kembali ke Flores. Kini 9 orang telah kembali, tetapi 13 orang tidak jelas nasibnya.

Diceritakan bahwa Asmara, Coki dan Alex akan dikirim ke pulau Seribu menemui seorang dokter forensik Syamsul Mawardi. Beliau menemukan tulang-tulang manusia yang sebagian sudah diperiksa dan sebagian dikuburkan penduduk.

PULAU SERIBU,2000

Ada sebuah informasi dari pulau Seribu yang mendatangkan setitik harapan bagi orang tua, istri dan kekasih para aktivis yang belum ditemukan. Menurut seorang informan bernama pak Hasan, tahun 1998 saat sedang keliling patroli, beliau melihat sebuah kapal yacht putih di sekitar pulau Panjang. Mereka membuang tong-tong besar yang terlihat sangat berat karena satu tong digotong oleh tiga orang. Tetapi pak Hasan tidak tahu apa isi tong-tong tersebut. Apakah hal ini ada hubungannya dengan tulang-tulang yang ditemukan di pulau Panjang tersebut? Entahlah, tidak ada kepastian tentang hal itu.

TANAH KUSIR, 2000

Menceritakan pertemuan Komisi Orang Hilang di rumah pakde Julius di Tanah Kusir. Disini Asmara, Alex dan Coki menjelaskan tentang penemuan-penemuan dan informasi yang mereka dapatkan di pulau Seribu.

DI DEPAN ISTANA NEGARA, 2007

Aksi Payung Hitam setiap Kamis di depan Isana Negara pada tahun 2007. Para orang tua dan kerabat aktivis yang hilang berdiri dengan baju hitam dan dinaungi ratusan payung hitam. Mereka berdiri dalam diam di depan istana.

Ibu dan Anjani mulai bergabung dengan mereka semanjak bapak wafat. Ibu dan Anjani perlahan telah membuka pintu yang selama ini tertutup dan bergabung menuntut jawaban.

DI HADAPAN LAUT, DI BAWAH MATAHARI

Dalam bab ini diceritakan pelepasan karangan bunga ke laut disertai doa untuk melepas aktivis yang hilang. Setiap orang tua membawa satu karangan bunga beserta foto anak-anaknya (hasil bidikan Alex). Mereka sudah mengikhlaskan putra putrinya serta melepas kepergiannya dengan doa dan air mata.

KESAN MEMBACA BUKU INI

Novel yang mampu membawa perasaan bagi pembaca. Membaca novel ini menimbulkan kesedihan dan rasa haru. Ada rasa penasaran dan pertanyaan setelah membaca novel ini, berharap di akhir cerita sesuatu yang dapat mengungkap peristiwa 1998. Awalnya mungkin pembaca sudah menebak-nebak hubungan antara tulang-tulang manusia, dengan pembuangan tong-tong besar di pulau Panjang. Tetapi di akhir cerita tak disebutkan adanya hubungn keduanya. Dan hingga kini nasib aktivis-aktivis tersebut tidak diketahui dan tidak terlacak.

Novel ini terinspirasi dari kisah nyata para aktivis yang hilang dalam peristiwa 1998. Ditulis berdasarkan wawancara dari berbagai narasumber yang memang mengalami peristiwa tersebut. Banyak makna yang dapat dipetik dari isi novel ini antara lain tentang arti tulusnya cinta, yaitu antara Anjani dan Laut, antara Alex dan Asmara. Selain itu juga kisah keluarga yang kehilangan anaknya, tentang persahabatan, tentang pengkhianatan, tentang manusia yang kejam dan menyiksa sesama demi kekuasaan.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tua terutama seorang ibu yang kehilangan anaknya. Bahkan hingga kini tak ada jejak ditemukannya para aktivis tersebut. Seolah hilang ditelan bumi. Andaikan mereka telah wafat, jenazahnya pun tak ada.

Saya sangat merekomendasikan novel ini untuk dibaca generasi Z agar mereka tahu sejarah Peristiwa 1998 yang terjadi di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru. Bila diminta memberi nilai, saya akan menilai 9,5 dari 10.

Itulah ulasan saya tentang novel Laut Bercerita, semoga bermanfaat.

4 komentar

  1. Luar biasa. Di tahun kedelapan, novel ini sudah masuk cetakan ke-74. Adik saya punya buku ini, tetapi saya belum sempat baca. Mudah-mudahan saya bisa secepatnya bisa menyimak secara langsung kisah Biru Laut ini.

    BalasHapus
  2. Menarik nih tentang buku Leila yang judul ini, sebab saya punya pengalaman beberapa kali "war tiket untuk menonton filmnya. Namun selalu gagal. Beliau idola saya sejak remaja...

    BalasHapus
  3. Menarik nih ceritanya. Ada banyak sejarah kelam yang tercatat di tahun 98. Dan itu melahirkan jiwa jiwa kritis pemuda untuk mengabadikannya dalam berbagai bentuk memori. Contoh novel ini.

    BalasHapus
  4. Saya punya buku ini dan bacanya bikin nyesek sampe nggak mau nyebelin karena udah tahu endingnya gimana..

    BalasHapus