wahyusuwarsi.com

RAMADAN PALING BERKESAN DAN TAK TERLUPAKAN

 

Ramadan paling berkesan



Tahun ini tak terasa sudah 2 tahun bapak meninggal, dan tahun ini adalah ramadan ke-2 tanpa beliau di antara keluarga kecil kami. Sebelumnya selama 4 tahun bapak tinggal bersama keluarga kecil ini yaitu suami, saya dan dua orang anak remaja kami. Kamilah yang memutuskan agar bapak tinggal bersama kami karena tak ada orang lain yang merawatnya di rumah masa kecil, semenjak ibu meninggal. Hanya ada satu orang driver yang setia menemani bapak.

Namun beberapa tahun terakhir bapak banyak mengalami kemunduran, terutama dalam hal kesehatan. Baik itu dalam hal ingatan (demensia), pendengaran dan keluhan penyakit asam urat yang dideritanya. Selama hidupnya, bapak termasuk orang yang kuat berpuasa. Dalam usia hampir 84 tahun masih menjalankan ibadah puasa. Setahun sebelum beliau meninggal, adalah ramadan yang paling berkesan dan tak terlupakan dalam ingatanku.

KENANGAN RAMADAN BERSAMA BAPAK

Alhamdulillah selama 2 tahun pertama tinggal bersama keluarga kami, kondisi bapak baik-baik saja dan sehat. Setiap bulan kami antarkan beliau ke rumah sakit, kontrol dan periksa ke dokter syaraf dan dokter penyakit dalam langganannya. Semua berjalan baik-baik saja, hingga suatu hari di tahun ke-3 bapak bersama kami, beliau sudah mulai susah makan, mulai menurun daya ingatnya karena penyakit demensia dan akhirnya terkena stroke.

Di tahun pertama dan kedua tinggal bersama kami, setiap bulan ramadan selalu kami lalui bersama, dan bapak bisa menuntaskan puasa full sebulan penuh tanpa ada hari yang bolong (batal). Masih lekat dalam ingatan ini, setiap hari beliau request makanan berbuka dan takjil yang diinginkan. Bapak paling suka ayam goreng, sayur asam dan sambal terasi. Sedangkan takjilnya adalah kolak pisang. Setiap hari menu ayam goreng dan kolak pisang harus selalu ada, dan menemani saat-saat berbuka puasa. O ya, ada satu lagi minuman yang jadi favorit bapak, yaitu es sirup yang sirupnya berwarna merah (frambozen). Dan Alhamdulillah menu-menu itu saya sendiri yang memasaknya, walaupun masakan saya nggak seenak masakan almarhumah ibu saya. Tetapi lumayanlah rasanya, kata anak-anak saya.

Tak jarang rasanya sedih dan haru bila saat sahur dan berbuka, ada satu kursi kosong di meja makan. Kursi dimana bapak biasa duduk, menikmati sahur dan berbuka bersama kami.

KEJADIAN LUCU DI BULAN RAMADAN

Saya ingat ada kejadian lucu saat bapak masih sehat. Waktu itu juga pas bulan ramadan, sore sekitar pukul 16.00. Tiba-tiba bapak kepingin beli jajanan yang dijual di seberang komplek rumah saya. Tak sabar beliau menunggu saya yang sedang bebenah, akhirnya bapak berjalan sendiri ke luar komplek perumahan, hanya untuk beli jajan yang diinginkan.

Mungkin karena jaraknya agak jauh, waktu itu bapak merasa lelah berjalan. Maka duduklah beliau istirahat sejenak di teras depan masjid, yang kebetulan ada di dekat komplek perumahan. Tiba-tiba datang serombongan anak-anak muda, memberikan nasi kotak pada bapak. Bapak bingung, kenapa diberi nasi kotak, oleh orang yang tak dikenal. Mungkin dalam pikiran bapak, anak-anak muda itu sedang jualan takjil atau makanan berbuka puasa.

“Ini harganya berapa, Mas?” tanya bapak pada anak muda tersebut.

“Kami mahasiswa Undip Pak, sedang mengadakan bakti sosial membagikan makanan berbuka untuk kaum dhuafa dan fakir miskin,” balas anak muda itu pada bapak.

Owalah, dari situ bapak baru tahu kalau nasi kotak itu dibagikan gratis pada kaum dhuafa dan fakir miskin. Akhirnya setelah sadar, bapak pun merasa geli juga. Kenapa demikian? Ternyata karena terburu-buru, bapak lupa ganti pakaian yang bersih. Baju yang dipakainya adalah baju yang sudah lusuh bahkan ada terlihat sobek di lengan sebelah kanan. Jadi mungkin mereka mengira bahwa bapak adalah orang yang harus diberi sodakoh sebagai dhuafa… hehehe. Akhirnya nasi kotak itu diberikan pada seorang tukang parkir di masjid tersebut. Setelah membeli jajanan, kemudian bapak pulang dan menceritakan kejadian ini pada kami. Lucu juga mengingat kejaian itu, tapi juga terharu.

Mengingat semangatnya lah yang membuat saya kagum pada bapak, puasa tak pernah ditinggalkan hingga sebulan penuh. Memang bapak adalah pensiunan perwira Angkatan Darat, sehingga mempunyai fisik yang kuat dan sudah terlatih mandiri. Tak heran di usia yang sudah sepuh masih saja berkeras untuk berpuasa dan tak mau membayar fidyah saja. Hal ini juga yang saya contohkan pada anak-anak saya, supaya meneladani eyangnya dalam berpuasa dan ibadah, selalu istiqomah.

Menulis dan bercerita tentang kedua orang tua yang telah tiada selalu menimbulkan rasa haru dan sedih, yang kalau anak sekarang bilang “mengandung bawang.” Nah, itulah ramadan terakhir saya bersama bapak yang sangat berkesan dan tak akan terulang lagi. Semoga kedua orang tua saya tenang di syurganya Allah swt dan husnul khotimah. Al Fatikhah untuk bapak dan ibu.

Posting Komentar