Masih ingat tsunami tahun 1994 yang melanda Banyuwangi? Tsunami datang 2 jam setelah terjadi getaran gempa bumi besar, yang terasa sangat kuat di seluruh wilayah Jawa Timur, Bali dan sebagian Jawa Tengah. Gelombang tsunami yang datang pukul 01.00WIB itu menyebabkan 250 orang meninggal. Kisah tsunami di Banyuwangi itulah yang melatarbelakangi novel bergenre fiksi ini.
Buku terbitan PT Tekad Media Cakrawala, merupakan cetakan kedelapan Oktober 2024. Cover depan menggambarkan 6 orang anak sedang menyeberang sebuah jembatan bambu, dibawah mereka terbentang jurang. “Bagaimanapun takdirnya nanti, tujuh raga akan tetap satu jiwa,” adalah quote di bawah judul.
Buku ini terdiri dari 23 bab (320 halaman), No ISBN 978-623-5953-36-6. Pembatas buku didesain berbentuk ayam jago, yang dalam cerita ini bernama Hartono. Seekor ayam jago peliharaan dan kesayangan keluarga Purnomo.
SINOPSIS BUKU
![]() |
| cover-belakang-novel-laut-pasang-1994 (Gambar: koleksi pribadi) |
Dalam novel ini digambarkan kehidupan keluarga Hartono yang rukun dan damai. Anak-anak bermain bersama, membuat layang-layang, menyanyi bersama diiringi gitar ayahnya, main bola maupun mainan lain khas anak-anak di daerah pesisir pantai. Purnomo dan keluarganya tinggal di pesisir pantai di daerah Banyuwangi.
Sudah lebih dari setahun, Ratna ibu mereka menderita sakit TBC. Tubuhnya sangat kurus dan lemah, namun masih bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ya, walaupun bila penyakitnya kambuh, dadanya terasa sesak dan Ratna hanya bisa berbaring saja. Simbah dan anak-anaklah yang saling bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, sementara Purnomo pergi mencari nafkah.
“Tidak ada yang pernah siap menghadapi kehilangan. Selama apapun kebersamaan dan kenangan dibuat, semua akan tunduk di depan gerbang kepergian.”
“Nak… setiap manusia yang merasakan hidup, harus percaya dengan yang namanya perpisahan. Ibu, Bapak, Simbah dan kalian semua, pasti akan merasa kehilangan, entah itu besok, lusa, bahkan hari ini. Semua nggak ada yang tahu.” (halaman 37).
Ibu meninggal. Sebelum meninggal, ibu punya firasat berpesan pada Khalid si sulung, untuk menjaga adik-adiknya bila nanti ibu tiada. Semua kehilangan ibu.
Ibu meninggal dengan tenang. Khalid lah yang pertama menyadari bahwa ibu telah berpulang. Saat itu Khalid ingin membangunkan ibu untuk minum obat, namun ternyata ibu sudah meninggal. Mata ibu terpejam dengan tenang, senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Khalid dan adik-adik merasa belum siap kehilangan ibu. Ibu adalah seorang wanita yang sabar, telaten merawat keluarga walaupun kondisi ibu tidak baik-baik saja.
Semenjak kepergian ibu, perangai bapak berubah sama sekali. Dari raut wajah, perilaku dan nada bicaranya pun berubah. Bapak yang biasanya dengan lembut menatap anak-anaknya, bicara juga dengan nada lembut, semuanya itu tak ada lagi. Bapak seperti orang asing di mata anak-anak.
Seringkali bapak tak pernah pulang, dan jika pulang selalu dalam kondisi mabuk dan marah-marah. Namun apapun yang terjadi, anak-anak selalu ingat pesan ibu bahwa mereka tidak boleh membenci bapak.
Apta yang merasa kehilangan bapak, mencari keberadaan bapaknya. Dan yang membuatnya terkejut, Apta menemukan bapak sedang mabuk dan bermesraan bersama seorang wanita di pasar. Sat itu bapak tersulut emosinya dan menghajar Apta di depan orang-orang di pasar. Apta sangat kecewa pada bapak dan pulang ke rumah membawa kekecewaannya pada bapak. Namun dia tak boleh membenci bapak, apapun yang terjadi.
Begitu banyak kenakalan yang diperbuat Apta, karena merasa kecewa. Bermusuhan dan berkelahi dengan kepala sekolah (pak Rusdi), hingga tawuran dengan anak-anak sekolah lain. Hingga hubungan persahabatannya dengan Arimbi putus, karena ibu Arimbi tak suka bila anaknya dekat-dekat dengan Apta. Ditambah lagi Hartono ayam kesayangannya hilang entah kemana, sudah beberapa hari ini Hartono tak pulang ke rumah. Semakin gundah lah hati Apta.
Demikian pula Dewangga yang telah punya gadis pujaan hati, namun tak seiman. Bapak tak menyetujui hubungan mereka, sehingga hubungan mereka putus. Itulah yang membuat Dewangga kecewa pada bapak, yang tidak memberinya kesempatan untuk bicara dengan Laras, kekasihnya.
Purnomo akhirnya sadar bahwa perbuatannya salah, dan kembali ke rumah, hidup bersama simbah dan anak-anaknya. Sikap dan perlakuannya terhadap anak-anak juga berubah menjadi baik. Mengunjungi makam ibu bersama anak-anak, belanja ke pasar bersama Windu dan membelikan arum manis, menjadi imam shalat bagi mereka, memasak bersama simbah dan menyanyi bersama anak-anak.
Seperti malam itu, mereka berkumpul semua di teras sambil bermain gitar dan menyanyi. Sikap Apta terlihat aneh, karena sepanjang malam itu hanya duduk diam dan termenung. Bahkan ada permintaannya pada Khalid bahwa dia ingin dipeluk dan dicium kakak sulungnya itu. Tetapi Khalid hanya menciumnya saja. Khalid menyesal karena ternyata itu lah permintaan terakhir Apta, dan dia tak mengabulkannya.
Tiba-tiba terjadi gempa yang sangat besar di daerah mereka. Memang beberapa hari ini sering terjadi gempa, namun hanya gempa kecil yang berulang. Mereka panik dan saling berpegangan satu sama lain. Tak berapa lama, gempa pun berhenti, mereka merasa lega. Namun tiba-tiba terdengar dentuman yang sangat keras dan air laut datang menggulung dan meluluh lantakkan semuanya.
Mereka sangat panik dan masing-masing menyelamatkan diri sendiri. Tetapi Khalid masih berusaha menyelamatkan adik-adiknya, sedangkan Apta masih berusaha menyelamatkan simbah yang tidak mau beranjak dari rumah, sehingga Apta terpaksa menggendongnya.
Ya, bencana tsunami menghancurkan semuanya. Banyak jasad manusia tergeletak dimana-mana. Bangunan-bangunan hancur tak berbentuk lagi.
Purnomo, Khalid dan Dewangga berhasil diselamatkan. Sedangkan Nadi, Esa, Dipa, Windu dan simbah jenazahnya sudah dikebumikan. Namun hingga kini Apta belum ditemukan. Selamat atau sudah meninggal kah Apta?
“ Yang tersisa dari kehilangan hanya kenangan yang bertumpuk. Perlahan berdebu, lalu terlupakan.”
PENUTUP
![]() |
| pembatas-buku-berbentuk-ayam-jago (Gambar: koleksi pribadi) |
Penyesalan selalu datang terakhir. Dari buku ini saya mendapat hikmah, sayangilah orang-orang terdekat yang saat ini masih bersama kita (orang tua, suami, istri dan anak). Karena bila mereka telah tiada, kita akan merasa sangat kehilangan dan tak dapat lagi mencurahkan perhatian dan kasih sayang kita terhadap mereka.
Dalam hal ini Purnomo sangat menyesal memperlakukan anak-anak dengan kasar. Di saat dia sudah insaf menyadari kesalahannya, bencana merenggut semuanya. Hanya penyesalan yang ada dalam hatinya.




Posting Komentar