wahyusuwarsi.com

FILM “EKSIL” UNGKAPAN KEKECEWAAN YANG MENYENTUH HATI

Film EKSIL



“Kuburan kami ada dimana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, di berbagai dunia.”


Puisi karya almarhum Chalik Hamid seorang eksil yang berjudul “Kuburan Kami Ada Dimana-mana,” ini mengawali pembukaan film Eksil. Beliau adalah salah satu eksil yang sampai saat ini tidak bisa pulang ke Indonesia, sebagai dampak kebijaksanaan politik Orde Baru.

Arti kata Eksil menurut KBBI adalah terpinggirkan. Kata eksil merupakan serapan dari kata exile (bahasa Inggris) yang artinya terasing atau seseorang yang dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumah yang dia tempati di Indonesia.

PERJALANAN FILM EKSIL


Salah seorang eksil yang diwawancara
salah-seorang-eksil-yang-diwawancara
(Gambar: Youtube Lola Amaria Production's)



Film yang merupakan film dokumenter ini disutradarai oleh Lola Amaria (seorang mantan model) bersama Gunawan Rahardja. Film ini berdurasi 1 jam 58 menit, untuk 13 tahun ke atas. Setelah mendapat izin, film eksil mulai diputar secara serentak pada tanggal 1 Pebruari 2024. Awalnya hanya diputar secara terbatas (hanya sedikit mendapat layar), namun saat ini sudah mulai bisa kita saksikan di beberapa kota di Indonesia.

Menurut Lola Amaria dalam Youtube Broscast Podcast Rivo Pahlevi, proses pembuatan film Eksil mulai berlangsung selama 10 tahun yaitu mulai dari riset, proses pembuatan film, pengambilan footage dan lain-lainnya.

Ada 10 orang eksil yang berhasil di wawancarai Lola Amaria dan tim yang terdiri dari 5 orang. Awalnya mereka merasa takut dan menolak kehadiran crew film untuk wawancara. Ketakutan mereka sangat beralasan, yaitu karena mereka takut jika keluarganya di Indonesia terkena dampaknya bila kehidupan eksil akan dibuat film. Tetapi crew film berhasil meyakinkan para eksil tersebut bahwa keluarga mereka tidak akan dilibatkan dalam film ini. Proses pendekatan ke para eksil ini butuh waktu selama 5 bulan, hingga crew film bisa diterima dan berhasil mewawancarai kesaksian para eksil yang berjumlah 10 orang. Shooting dimulai bulan Oktober, Nopember, Desember 2015.

Pada bulan Mei 2015, salah satu eksil yaitu Bapak Mintardja wafat. Dan wawancara dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Nurkasih dan Herutjahyo.

Menurut Lola Amaria, film ini adalah film dokumenter sebagai kolektif trauma dan sakit hati mereka yang mendapat ketidakadilan penguasa diktator.

Film ini telah memenangkan 2 penghargaan, yaitu:

1. Tayang perdana pada 27 Nopember 2022 di Jogja, pada NETPAC Asian Film Festival ( JAFF) tahun 2022 dan membawa titel film Indonesia terbaik.

2. Film Dokumenter Panjang Terbaik piala Citra FFI 2023.

Film ini menggambarkan 4 peristiwa yaitu:

1. Peristiwa 1965.
2. Revolusi Kebudayaan Cina.
3. Perestroika di Uni Soviet.
4. Peristiwa 1998 (reformasi/Soeharto lengser).

SINOPSIS


Salah seorang eksil
salah-seorang-eksil-dalam-film-Eksil
(Gambar: Youtube Lola Amaria Production's)


Film dibuka dengan puisi dari Almarhum Chalik Hamid yang berjudul "Kuburan kami ada di mana-mana."

Selanjutnya adalah cuplikan wawancara dari para eksil yang dirangkai menjadi sebuah kesaksian dan kisah yang apik.

Para eksil tersebut awalnya adalah pemuda Indonesia yang mendapat beasiswa dari Presiden Soekarno untuk belajar ke Uni Soviet dan China. Dikenal dengan nama MAHID (Mahasiswa Ikatan Dinas).

Tahun 1965 terjadi pergolakan politik di Indonesia (GESTOK), Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto. Bagaimanaa nasib MAHID yang ada di luar negeri?

Mereka tidak bisa pulang ke Indonesia, karena paspor ditahan. Mereka harus menandatangani pernyataan yang mengakui Orde Baru atau bila tidak mau, paspor mereka ditahan. Mereka dibuang (diasingkan) ke luar negeri karena dicap terkait partai komunis oleh Orde Baru. Padahal sebenarnya mereka tidak tahu apapun dan tidak berbuat apapun, namun mereka hanya mendapat beasiswa dari Soekarno. Eksil itupun akhirnya tidak mau mengakui Orde Baru.

Cap sebagai anggota partai komunis itu juga menimpa keluarga para eksil di Indonesia, yang dibunuh dan dilenyapkan.

Pada masa Orde Baru, pelajar dan delegasi itu tidak diakui oleh pemerintah dan dianggap sebagai komunis. Hak kewarganegaraan mereka dicabut, paspor tak dapat digunakan untuk pulang ke Indonesia. Kalaupun bisa pulang ke Indonesia, mereka akan ditangkap dan diinterogasi.

Para Eksil memilih tidak kembali dan hidup tanpa kewarganegaraan. Mereka menetap di negara-negara Belanda, Kuba, Rumania, Albania, Tiongkok, Rusia. Hingga kini mereka sudah tua (lanjut usia). Ada yang sudah berkeluarga dan banyak yang hidup sendiri.

Mereka nencari suaka dari negara yang ditinggalinya dan mengajukan kewarganegaraan, agar bisa mempunyai paspor untuk sekedar menengok sanak saudara yang masih ada di Indonesia. Ada yang berhasil pulang ke Indonesia, namun terjadi penolakan dari keluarganya dan mereka diusir keluar dari Indonesia.

Seorang eksil bercerita hingga kini menetap di Swedia, negara yang mau menerimanya. Beliau menjadi warganegara di Swedia, walaupun sebenarnya batinnya tetap untuk Indonesia. Mereka bisa bekerja, mendapat rumah dan hak-haknya. Banyak eksil lain yang bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Mereka bekerja tidak sesuai dengan pendidikan dan keahliannya. Mereka bekerja di panti sosial, perpustakaan, resto, administrasi dan penelitian.

Ada juga eksil yang bercerita bahwa kekasihnya ternyata adalah intel yang ditugasi memata-matai beliau. Sangat trenyuh mendengar cerita mereka. Mereka merasa bahwa hak kewarganegaraannya direnggut paksa.

Eksil yang diwawancara dalam film ini adalah:
  • Alm Asahan Aidit
  • Alm Chalik Hamid
  • Alm Kusian Budiman
  • Alm Sardjito Mintardjo
  • Hartoni Ubes
  • I Gede Arka
  • Kartaprawira
  • Sarmadji
  • Tan Iljas
  • Waruno Mahdi

KESAN TERHADAP FILM INI

Perasaan saya setelah menonton film ini, rasanya trenyuh dan sedih. Melihat tayangan film dokumenter yang menyentuh hati.

Cerita dari para eksil, saksi hidup dan kisah nyata mereka, disajikan dalam cuplikan wawancara dan dirangkai menjadi sebuah kisah (saksi kebenaran).

Film ini fokus menceritakan kehidupan sehari-hari eksil yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Mereka terusir karena adanya situasi politik tahun 1960-an. Dampak tragedi 1965, yang membantai para jendral dan terjadi pembunuhan dimana-mana.

Kehilangan status kewarganegaraan, bekerja apapun demi menyambung hidup, hilang kontak dengan keluarga, bahkan mungkin keluarga menjadi korban, mencari suaka di negara yang mau menampung mereka.

Lola Amaria piawai merangkai penggalan kisah dari wawancara dengan para eksil, menjadi sebuah film untuk mencari kebenaran sejarah.

Pokoknya nonton film ini ngga akan menyesal. Film ini wajib ditonton terutama oleh generasi Z agar mereka tahu kebenaran sejarah yang terjadi.

Semoga review film ini bermanfaat.











 

Posting Komentar